AnTend_75
Selasa, 02 Juni 2015
ISTISHAB
Tugas Makalah :
“ ISTISHAB “
Disusun Oleh :
JUAN JUNARDI
13020103075
Jurusan Syariah /EI/II/C
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN)
Sultan Qoimuddin Kendari
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami
berterima kasih pada Bapak pembimbing yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “ISTISHAB” , Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Kendari, Maret 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam ushul fikih, metode-metode
yang digunakan para mujtahid untuk menarik atau menyimpukan sebuah hukum
relatif berjumlah banyak, dan salah satu metode yang digunakan untuk itu adalah
istishab. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mengungkapkan hal-hal yang
berkaitan dengan istishab mulai dari pengertian, syarat-syarat, bentuk-bentuk,
kaida-kaidahnya sampai pada relevansi istishab terhadap hukum positif yang
khusunya ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba
((استصحب dalam shigat is-tif’âl
(استفعال), yang berarti: استمرار الصحبة. Kalau kata الصحبة diartikan “sahabat” atau “teman”, dan استمرار diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu
secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.
Sedangkan secara istilah (terminologi),
1. Imam Isnawi
Istishab ialah
melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena
suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishab ialah
mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang
sebelumnya tiada.
3.
Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula
selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum
yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat
terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah
menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti
yang mengubah hukum tersebut.
Contoh tentang istishab adalah
sebagai berikut:
A. Apabila
telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti
terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisan, hibbah atau wasiat, maka
pemilikan tadi terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan
perpindahan pemilikan pada orang lain.
B. Orang yang telah hilang tetap dianggap hidup sehingga ada
bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
C. Seseorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam
hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai,
misalnya dengan talak.
B. Syarat-syarat Istishab
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah
dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi
hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah
dan Malikiyah
membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek
yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk
mentsabitkan.
C. Macam-macam Istishab
Para ulama ushul fikih mengemukakan
istishab itu terbagi dalam lima macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian
lainnya diperselisihkan, yaitu:
1. Istishab Hukm Al-Ibahah Al-Asliyyah
اِسْتِصْحَابُ حُكْمِ الْاِبَاحَةِ
الْاَصْلِيَّةِ
Maksudnya: menetapkan hukum sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.
Misalnya, seluruh pepohonan yang ada
di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan semuanya berhak untuk
memanfaatkannya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah
menjadi milik seseorang. Hal ini berdasarkan pada firman Allah:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ
مَّا فِيْ اْلأَرْضِ جَمِيْعًا.....
Artinya: “Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…”. (Q.S Al-Baqarah: 29)
Ayat lain yang dijadikan para ulama
sebagai dasar bentuk istishab ini adalah firman Allah berikut ini:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِيْ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَ الطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ.....
Artinya: “Katakanlah: Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik…”.
(Q.S Al-A’raf: 32)
Para ahli ushul fikih mengatakan
bahwa pemanfaatan seluruh ciptaan Allah yang ada di bumi, perhiasan-Nya, dan
hak mencari rezeki, merupakan hak setiap orang dan hukumnya halal selama tidak
ada dalil yang mengharamkannya. Istishab seperti ini menurut para ulama dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang Menurut Akal dan Syara’ Hukumnya Tetap dan Berlangsung Terus
Ibnu QayyimAl-Jauziyah, ahli ushul
fikih Hanbali menyebutnya dengan “Wasf al-tsabit li al-hukm hatta yutsbita
khilafahu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum
yang berbeda dengan hukum itu”. Misalnya, hukum wudhu seseorang dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang
merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau telah batal, maka berdasarkan
istishab, wudhunya dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap
batal atau tidaknya wudhu tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang
bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah
SAW. terhadap seseorang yang merasa ragu terhadap keutuhan wudhunya. Ketika itu
Rasulullah SAW. menyatakan: “Jika seseorang merasakan sakit perutnya lalu ia
ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali-kali jangan ia
keluar dari mesjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau
mencium bau (kentut)” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Terdapat perbedaan pendapat mengenai
kehujjahan dari istishab bentuk kedua ini. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat
bahwa istishab bentuk ini dapat dijadikan hujjah. Imam Al-Ghazali menyatakan
bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh dalil, dan
dalil itu menunjukkan bahwa hukum tersebut masih tetap berlaku dan tidak ada
dalil lain yang membatalkannya. Dan menurutnya, istishab tidak dapat dijadikan
alasan berdasarkan anggapan bahwa tidak ada dalil lain yang membatalkan suatu
hukum. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendirian bahwa istishab seperti ini hanya
bisa dijadikan kasus.
3. Istishab terhadap Dalil yang Bersifat Umum Sebelum Datangnya Dalil yang Mengkhusukannya dan Istishab dengan Nash Selama tidak Ada Dalil Nash (yang Membatalkannya)
Istishab bentuk ketiga ini dari segi
esensinya, tidak diperselisihkan para ulama ushul fikih. Namun, dari segi
penamaan terdapat perbedaan di antara ulama ushul fikih.
Misalnya, dalam surat Al-Baqarah
ayat 267, diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang
diperoleh melalui pengeksploitasian sumber daya alam. Kalimat nafkah,
seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari sumber daya alam
tersebut, menurut kesepakatan para ulama ushul fiqih bersifat umum, baik nafkah
wajib itu berbentuk zakat, nafkah keluarga maupun kaum kerabat. Menurut ulama
ushul fiqih, kandungan ayat yang umum ini tetap berlaku selama tidak ada dalil
yang mengkhususkannya. Akan tetapi, menurut sebagian ulama ushul fiqih lainnya
seperti Imam Haramain Al-Juwaini dan Imam Al-Syaukani hal tersebut bukan
istishab melainkan berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
Contoh istishab dengan nash selama
tidak ada yang menasakhkannya adalah kewajiban berpuasa yang dicantumkan Allah
dalam firman-Nya, yaitu:
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمْ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَيْ اَّلِذيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ ....
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu…”.(Q,S Al-Baqarah: 183)
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan
yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan
ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini
pun menurur jumhur ulama ushul fiqih termasuk istishab, tetapi menurut ulama
ushul fiqih lainnya, seperti yang dikemukakan di atas tidak dinamakan istishab,
tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
4. Istishab Hukum Akal sampai Datangnya Hukum Syar’i
Maksudnya adalah umat manusia tidak
dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya
pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia sampai datangnya
dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat
(penggugat) orang lain (tergugat) bahwa ia berutang kepada penggugat sejumlah
uang, maka penggugat berkewajiban untuk menentukan alat-alat bukti atas
tuduhannya tersebut. Apabila ia tidak sanggup, maka tergugat bebas dari
tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berutang pada penggugat.
Menurut ulama Hanafiyyah,
istishab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada dan tidak
bisa menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyyah, dan Hanabillah, istishab seperti ini juga dapat
menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun
hukum yang akan ada (datang).
5. Istishab Hukum yang Ditetapkan berdasarkan Ijma’, tetapi Keberadaan Ijma’ Diperselisihkan
Misalnya, para ulama fiqih
menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh
bertayammum untuk mengerjakan shalat. Apabila dalam keadaan shalat ia meliha
ada air, apakah shalatnya harus dibatalkan kemudian ia berwudhu atau shalatnya
diteruskan.
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah,
orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang
menyatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka
menganggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa
ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali
shalatnya. Akan tetapi, ulama Hanafiyyah dan Hanabillah mengatakan
orang yang melakukan shalat dengan tayammum dan ketika shalat melihat air, ia
harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang shalatnya
itu. Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya shalat orang yang bertayammum
sebelum melihat air, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum
sahnya shalat bagi orang dalam keadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan
tersediannya air.
D. Kehujjahan Istishab
Ada tiga pendapat dikalangan ulama
mengenai kehujjahan istishab, yaitu:
1. Mayoritas dari pengikut Malik, Syafi’i, Ahmad, dan sebagian
ulama Hanafi berpendapat bahwa istishab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan
hukum syara’, selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Alasan mereka adalah sesuatu yang
telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik
secara qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif), maka hukum yang
telah ditetapkan itu terus berlaku karena adanya dugaan keras belum ada
perubahan. Apabila suatu dugaan keras (zhann) tidak bisa dijadikan landasan
hukum, maka bisa berakibat tidak berlakunya seluruh hukum yang telah
disyari’atkan Allah dan Rasulullah SAW. bagi generasi sesudahnya. Oleh sebab
itu, alasan yang menunjukkan berlakunya syari’at di zaman Rasulullah SAW.
sampai hari kiamat adalah menduga keras (zhann) berlakunya syari’at itu sampai
sekarang, tanpa ada dalil yang menasakhkannya.
Di samping itu, mereka juga
beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum juz’i (rinci) yang telah
disepakati para ulama fiqih (ijma’) yang didasarkan pada kaidah
istishab. Misalnya, menetapkan wudhu tidak batal karena adanya keraguan
terhadap ketentuan wudhu itu, menetapkan halalnya berhubungan suami istri yang
telah melakukan akad nikah sampai terbukti bahwa mereka telah cerai, dan
menetapkan tetapnya hak milik seseorang menjadi miliknya selama tidak
terbukti terjadinya pemindahtanganan hak milik tersebut.
2.
Sebagian besar dari ulama mutakhirin,
Hanafi berpendapat, bahwa istishab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum
syara’. Penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan
tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3.
Segolongan dari ulama mutakallimin
seperti Hasan Al-Bashri dan yang sependapat dengannya berpendapat bahwa
istishab secara mutlak tidak dapat dipakai/dijadikan hujjah di dalam menetapkan
hukum syara’, karena hukum yang ditetapkan adalah hukum yang sama pada masa
lampau yang menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil.
Alasan mereka, mendasarkan hukum
tanpa dalil sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan
suatu dalil, namun untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlukan
dalil lain.
E. Kaidah-kaidah Istishab
Berikut adalah kidah pokok yang
populer dan telah dirumuskan para ulama tentang istishab:
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
Maksudnya: apa yang ditetapkan dengan suatu yang
meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan suatu yang meragukan.
Selain kaidah di atas, terdapat beberapa kaidah lagi
mengenai istishab, yaitu:
اَلْاَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى
مَا كَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ.
Maksudnya: pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada
dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak
berlaku lagi.
اَلْاَصْلُ فِى الْاَشْيَاءِ اَلْاِبَاحَةُ.
Maksudnya: pada dasarnya dalam
hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh
dimanfaatkan.
اَلْاَصْلُ فِى الذِّمَّةِ اَلْبَرَاءَةُ مِنَ التَّكَالِيْفِ
وَالْحُقُوْقِ.
Maksudnya: pada dasarnya seseorang tidak dibebani
tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab orang yang
bersangkutan.
Menurut al-Suyuthi dalam kitabnya,
al-Asybah wa al-Nazhair, kaidah fiqhiyah yang pokok itu didasarkan kepada
beberapa hadits Nabi, di antaranya adalah:
1.
Hadits dari Abu Hurairah menurut
riwayat Muslim:
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ
شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئًا اَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ
مِنَ اْلَمسْجِدِحَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْيَجِدَرِيْحًا (الحديث).
Bila salah seorang di antaramu merasakan
pada perutnya sesuatu, kemudian ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari
perutnya itu atau tidak, janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar
suara atau mencium bau.
2.
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri
menurut riwayat Muslim:
اِذَاشَكَّ اَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ
صَلَّى اَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى
مَااسْتَيْقَنَ (الحديث).
Apabila salah seorang di antaramu
ragu dalam shalatnya apakah telah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah
ia buang apa yang meragukan dan mengambil apa yang meyakinkan.
F. Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan Masyarakat pada Zaman Sekarang
Istishab dipergunakan dalam
Undang-Undang Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu dipandang mubah
sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya,dan kebanyakan dari
hukum Undang-Undang perdata pun demikian. Dalam istishab pada dasarnya
seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan
bahwa orang tersebut bersalah. Prinsip ini di dalam hukum positif Indonesia
khususnya dikenal dengan istilah praguga tak bersalah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada
dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut. Terjadi perbedaan pendapat
mengenai syarat-syarat istishab di kalangan para ulama yaitu menurut Syafi’iyyah
dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Zhahiriyah berpendapat
bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap
hak-haknya terdahulu, sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyah
membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek
yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk
mentsabitkan.
Para ulama ushul fikih mengemukakan
istishab itu terbagi dalam lima macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian
lainnya diperselisihkan, yaitu: istishab hukm al-ibahah al-asliyyah, istishab
yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus, istishab
terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhusukannya
dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nash (yang Membatalkannya),
istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i, dan istishab hukum yang
ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ diperselisihkan.
Ada tiga pendapat dikalangan ulama
mengenai kehujjahan istishab, yaitu: Mayoritas dari pengikut Malik, Syafi’i,
Ahmad, dan sebagian ulama Hanafi berpendapat bahwa istishab dapat menjadi
hujjah dalam menetapkan hukum syara’, selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Sebagian besar dari ulama mutakhirin, Hanafi berpendapat, bahwa istishab
dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum syara’ yang dalam hal ini hanya
berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang
akan ditetapkan hukumnya. Segolongan dari ulama mutakallimin seperti
Hasan Al-Bashri dan yang sependapat dengannya berpendapat bahwa istishab secara
mutlak tidak dapat dipakai/dijadikan hujjah di dalam menetapkan hukum syara’.
Berikut adalah kidah pokok yang
populer dan telah dirumuskan para ulama tentang istishab: apa yang
ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan suatu
yang meragukan. Istishab dipergunakan dalam Undang-Undang Pidana sebagai
landasan. Karena segala sesuatu dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas
yang menetapakan keharamannya. Dan kebanyakan dari hukum Undang-Undang perdata
pun demikian.
DAFTAR PUSTAKA
A.Djazuli. (2006). Ilmu Fiqh :
Penggalian, Perkembangan, Dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Chaerul Umam, d. (2000). Ushul Fiqh 1.
Bandung: Pustaka Setia.
Effendi, S. (2005). Ushul fiqh. Jakarta:
Prenada Media.
Rifa'i, M. Ushul Fiqh. Bandung: PT Alma'arif,
t.t.
Syarifuddin, A. (2009). Ushul Fiqh Jilid 2.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Langganan:
Postingan (Atom)