Tugas Makalah :
“ PERBANDINGAN PEMIKIRAN TEOLOGI TENTANG KEHENDAK
DAN KEADILAN TUHAN "

Disusun Oleh :
JUAN JUNARDI
13020103075
MIRNA DEWI
13020103069
Jurusan Syariah /EI/II/C
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN)
Sultan Qoimuddin Kendari
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan
makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami
berterima kasih pada Bapak pembimbing yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Pengertian Filsafat” , Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Kendari, 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Adanya perbedaan dalam aliran-aliran ilmu kalam
mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu, dan kebebasan atau kehendak dan perbuatan
manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat tentang kehendak mutlak dan
keadilan Tuhan.
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan
Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta
alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala
aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan
yang tidak terbatas karena tidak ada
eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Ia difahami
sebagai eksistensi yang esa dan unik. Inilah makna umum yang dianut aliran-aliran
kalam dalam memahami tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Faham keadilan Tuhan, dalam pemikiran kalam,
bergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak
dan berbuat? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja? Perbedaan pandangan
terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan perbedaan penerapan makna
keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada
tempatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehendak Mutlak Tuhan.
Allah adalah
Tuhan Yang Esa, Mahakuasa dan Maha Berkehendak. Keyakinan. Keyakinan demikian
disepakati oleh semua umat Islam. Namun, aliran-aliran kalam berbeda pandapat
tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan itu. Apakah kehendak dan
kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau ada batas-batas tertentu
sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?
a. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang menempatkan
akal pada posisi yang tertinggi dan meyakini kemampuan akal untuk dapat
memecahkan problema teologis, berpendapat, kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya.
Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri. Hal-hal
yang membatasi kekuasaan Tuhan tersebut anatara lain adalah;
1.
Kewajiban-kewajiban
Tuhan untuk menunaikan janji-janji-Nya seperti janji memasukkan orang yang
saleh ke dalam surga dan orang yang berbuat jahat ke dalam neraka. Tuhan wajib
menepati janji ini. Dengan demikian, meskipun Tuhan berkuasa memasukkan orang
jahat ke dalam surga, tapi kekuasaannya dibatasi oleh janji-Nya sendiri. Jika
Tuhan paksakan juga memasukkan orang jahat ke dalam surga berarti Tuhan tidak
adil dan melanggar janji.
2.
Kebebasan dan
kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. Menurut Mu’tazilah,
Allah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk melakukan
perbuatan. Kerena itu, manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Manusialah
yang memilih dan menentukan, berbuat atau tidak, dan apa yang akan ia perbuat.
Karena Allah sudah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia memilih
dan menentukan perbuatannya itu, maka kekuasaan Tuhan terhadap perbuatan
manusia itu tidak mutlak lagi.
3.
Hukum alam.
Allah menciptakan alam semesta ini denga hukum-hukum tertentu yang bersifat
tetap. Hukum-hukum itu biasanya dinamakan hukum alam, seperti matahari terbit
di sebelah Timur dan tenggelam di sebelah Barat, benda tajam melukai, api
membakar, dan lain-lain. Hukum alam yang pada hakikatnya adalah hukum Allah
karena Allah yang menciptakan hukum itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Dengan
ketentuan tersebut, Tuhan tidak berkuasa mutlak lagi. Kekuasaan-Nya dibatasi
oleh hukum-hukum yang diciptakan-Nya sendiri.
Secara lebih jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan
bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan
Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta
adanya hukum alam (sunnatullah) yang menurut Al-Qur’an tidak pernah
berubah.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Mu’tazilah kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur-jalur hukum yang tersebar di
tengah alam semesta. Itulah sebabnya Mu’tazilah mempergunakan ayat 62
surat Al-Ahzab Kebebasan manusia,
yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan membatasi
kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah,
Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak,
tetapi sudah terbatas.
b. Aliran Asy’ariah
Pendapat Mu’tazilah diatas bertolak belakang dengan pendapat Asy’ariyah.
Menurut Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang
kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya,
mengemukakan bahwa Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satu
pun yang membatasi kekuasaan-Nya itu. Karena kekuasaan Tuhan bersifat absolut
(penuh), bisa saja Tuhan memasukkan orang jahat atau kafir ke dalam surga atau
memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam neraka, jika hal itu memang dikehendaki-Nya.
Apabila Tuhan berbuat demikian, menurut pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak
adil. Keadilan Tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatan-Nya itu sebab semua
yang ada adalah ciptaan dan milik-Nya. Ia punya hak untuk berbuat apa saja
terhadap ciptaan dan milik-Nya.
Al-Asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan
tidak tunduk kepada siapapun dan tidak dzat lain di atas Tuhan yang dapat yang
dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak
boleh dibuat Tuhan. Malah lebih jauh dikatakan oleh Asy’ari, kalau memang Tuhan
menginginkan, ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran
oleh aliran Asy’ariyah untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 16
surah Al-Buruj [85], ayat 99 surah Yunus [10], ayat 13 surah As-Sajadah
[32], ayat 112 surah Al-An’am [6], dan ayat 253 surah Al-Baqarah [2].
Ayat-ayat tersebut difahami Asy’ari sebagai
pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti
berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan
lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu, sedangkan sifat lupa, lalai, apalagi
lemah, adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. oleh sebab itu, kehendak
Tuhan tersebutlah yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak
setelah Tuhan sendiri menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki
oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-apa. Ini berarti kehendak dan
kekuasaan Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya dan sepenuh-penuhnya. Tanpa makna
itu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak memiliki apa-apa.
c. Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan
Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi
penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan. Karena
menganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi
kekuasaan mutlak Tuhan, kaum Maturiyah Samarkand mempunyai posisi yang
lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan
yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang
diberikan aliran Mu’tazilah. Namun menurut Maturidiyah Samarkand, kehendak
mutlak Tuhan, dibatasi oleh keadilan Tuhan.
Adapun menurut Maturidiyah Bukhara, sekalipun
aliran ini tidak seekstrem aliran Asy’ariyah, namun mereka memiliki
paham yang dekat dengan Asy’ariyah. Golongan ini berpendapat bahwa Tuhan
memiliki kekuasaan mutlak, namun kemutlakannya tidak semutlak paham yang dianut
oleh Asy’ariyah. Jika Asy’ariyah
berpendapat, Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya tanpa keterikatan
apa pun, maka golongan Maturidiyah Bukhara, sebagaimana dikemukakan oleh
salah seorang tokoh besarnya yaitu, al-Bazdawi, berpendapat, Tuhan tidak
mungkin melanggar janji-janji-Nya seperti memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan menghukum kepada orang yang berbuat jahat. Pendapat al-Bazdawi
ini menunjukkan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana
pendapat Asy’ariyah sebab masih terkandung adanya kewajiban Tuhan, yaitu
kewajiban menepati janji.
Kalau Maturidiyah Bukhara lebih dekat
kepada pemikiran Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand lebih dekat kepada
pemikiran Mu’tazilah sekalipun tidak seekstrem Mu’tazilah. Bagi
golongan ini, Tuhan memang memiliki kekuasaan mutlak, namun kekuasaan-Nya
dibatasi oleh batasan yang diciptakan-Nya sendiri. Batasan-batasan tersebut,
menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:
b)
Keadaan Tuhan
menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan
manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk
berbuat baik atau berbuat buruk/jahat.
B. Keadilan Tuhan.
Masalah keadilan Tuhan erat sekali kaitannya
dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dan janji-janji Tuhan dalam
Al-Qur’an yang memberikan kenikmatan bagi orang yang berbuat baik dan menghukum
orang yang berbuat dosa dan maksiat. Di samping itu, erat pula kaitannya dengan
perbuatan manusia.
Karena pandangan aliran-aliran teologi terhadap
kekuatan mutlak Tuhan, janji Tuhan, dan perbuatan manusia berbeda, mereka
berbeda pula memandang keadilan tersebut.
a. Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
manusia bebas merdeka melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan
terbatas, memandang keadilan Tuhan dari sudut kepentingan manusia. Karena itu,
bagi mereka, Tuhan adil jika Tuhan
memberikan hak yang sebenarnya kepada manusia. Kalau manusia yang berbuat baik
harus dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya jika manusia yang berbuat jahat dan
melanggar hukum-hukum Tuhan dimasukkan ke dalam neraka. Kalau Tuhan berbuat
sebaliknya, memberi kenikmatan kepada orang yang jahat dan menghukum orang yang
baik, berarti Tuhan berbuat zhalim. Dan tuhan maha suci dari perbuatan zhalim.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah mengatakan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh tokohnya Abd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuhan
mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak
melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya
adalah baik. Jalan pikiran ini tidak menghendaki sifat zhalim dalm menghukum,
memberi beban yang tidak patuh bagi Allah. dengan kata lain, Tuhan dalam
pandangan Mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya
sendiri bagi diri-Nya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sandaran
dalam memperkuat pendapat aliran Mu’tazilah ini untuk memperkuat
pendapatnya adalah ayat 47 surah Al-Anbiya [21,] ayat 54 surah Yasin [36], ayat
46 surah Fushilat [41],
Dari uraian tersebut, dapat diambil pengertian
bahwa semua perbuatan yang timbul dari Tuhan, dalam hubungannya dengan
hamba-Nya, ditentukan oleh kebijaksanaan atas dasar kemaslahatan. Perbuatan
Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk
kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu baik. Kebaikan itu bermakna
bila Tuhan tidak berbuat zhalim dengan membebani manusia yang tidak terpikul
dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan paksaan tanpa memberi kebebasan
terlebih dahulu.
Apabila kita memperhatikan uraian diatas, jelas
sekali bahwa keadilan Tuhan menurut kensep Mu’tazilah merupakan titik
tolak dalam pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak
pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia.
Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
b. Aliran Asy’ariyah
Sebagaimana
dalam masalah yang lain, dalam masalah keadilan Tuhan ini, Asy’ariyah mempunyai
pendapat yang bertolak belakang dengan Mu’tazilah. Kaum Asy’ariyah, karena
mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan
Tuhan tidak mempunyai tujuan. Asy’ariyah memandang keadilan Tuhan dari
sudut kehendak dan kekuasaan Tuhan yang bersifat absolut, Tuhan adalah pencipta
dan pemilik segala-galanya, karena itu, apa pun yang dilakukan Tuhan adalah
adil, sebab ia memperlakukan ciptaan dan milik-Nya sendiri.
Bagi Asy’ariayah, keadilan adalah
“menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya”, yaitu mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai kehendak-Nya.
Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat
memberi pahala kepada hamba-Nya atau memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya,
dan itu semua adalah adil bagi Tuhan. Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak
dapat berbuat sekehendak-Nya karena dia adalah penguasa mutlak. Sekiranya Tuhan
menghendaki semua makhluk-Nya masuk ke dalam surga atau sebaliknya Tuhan
menghendaki semua makhluk-Nya masuk ke dalam neraka, itu adalah adil bagi
Tuhan, karena Tuhan berbuat dan membuat
hukum menurut kehendak-Nya.
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, aliran Asy’ariyah memberi makna tentang keadilan Tuhan dengan
pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat
berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan difahami dalam arti
Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata
lain, dikatakan tidak adil, bila yang difahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak
terhadap milik-Nya.
c. Aliran Maturidiyah
Dalam masalah keadilan tuhan ini, Maturidiyah
Samarkand memiliki pandangan yang sama dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah
Bukhara sejalan dengan pemikiran Asy’ariyah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dalam persoalan tentang kemutlakan kekuasaan
dan kehendak Tuhan, aliran-aliran kalam berbeda-beda pendapatnya tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak
Tuhan. Apakah kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau
ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?
Mu’tazilah,
sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal pada posisi yang tertinggi dan
meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan problema teologis, berpendapat,
kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa
hal yang diciptakan-Nya sendiri.
Asy’ariyah, yang
berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai
kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa Tuhan berkuasa
mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satu pun yang membatasi kekuasaan-Nya
itu.
Maturidiyah Bukhara,berpendapat
bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak,namun Tuhan tidak mungkin melanggar
janji-janji-Nya seperti memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan
menghukum kepada orang yang berbuat jahat.
Karena pandangan aliran-aliran teologi terhadap
kekuatan mutlak Tuhan, janji Tuhan, dan perbuatan manusia berbeda, mereka
berbeda pula memandang masalah keadilan Tuhan.
Kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
manusia bebas merdeka melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan
terbatas, memandang keadilan Tuhan dari sudut kepentingan manusia. Karena itu,
bagi mereka, Tuhan adil jika Tuhan
memberikan hak yang sebenarnya kepada manusia.
Kaum Asy’ariyah, karena mereka percaya
pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan. Asy’ariyah memandang keadilan Tuhan dari sudut
kehendak dan kekuasaan Tuhan yang bersifat absolut, Tuhan adalah pencipta dan
pemilik segala-galanya, karena itu, apa pun yang dilakukan Tuhan adalah adil,
sebab ia memperlakukan ciptaan dan milik-Nya sendiri.
Dalam masalah keadilan tuhan ini, Maturidiyah
Samarkand memiliki pandangan yang sama dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah
Bukhara sejalan dengan pemikiran Asy’ariyah.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Sahilun A. Nasir , 1996, Pengantar Ilmu Kalam, Raja Pers, Jakarta.
Harun
Nasution, 1986, Teologi Islam, Universitas Indonesia Pers, Jakarta.
http://www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar