@pundonggala beach in sulawesi south of celebes ......#KONAWE_UTARA
Selasa, 19 Mei 2015
Senin, 18 Mei 2015
at-ta'arud dan at-tarjih
TUGAS MAKALAH :
“AT –TA’ARUD DAN AL- TARJIH “
Disusun
Oleh :
JUAN JUNARDI
13020103075
RIA SETIAWATI ASRI
13020103073
Jurusan Syariah / Ekonomi Islam / III / C
Institut Agama Islam Negeri
(IAIN)
Sultan Qaimuddin Kendari
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak pembimbing yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “AT- TA’ARUD DAN AL-TARJIH” , Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan
dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Kendari,
September 2014
Penyusun
DAFTAR ISI :
BAB I
PENDAHULUAN
Jika
diteliti secara umumnya, bidang atau skop perbahasan dalam ilmu usul al-fiqh
ialah mengenai kaedah-kaedah yang digunakan oleh ulama untuk mengeluarkan
sesuatu hukum daripada sesuatu sumber hukum, sama ada sumber hukum yang
disepakati atau dari sumber hukum yang tidak disepakati. Ia juga membahaskan
perkara-perkara yang berkaitan dengan ijtihad, syarat-syarat dan kriteria serta
ciri-ciri mujtahid. Begitu juga dengan al-Ta’arud dan al-Tarjih serta
al-Dilalat atau al-Dalalat iaitu perbahasan khusus tentang cara-cara menentukan
madlul dan hukum dari Al-Quran serta Hadith dan kategorinya.
Antara masalah yang dihadapi oleh seseorang untuk memahami sunnah Rasulullah s.a.w adalah wujudnya beberapa hadith yang memiliki maksud, petunjuk dan hukum yang saling bercanggah, berlawanan dan bertentangan antara satu sama lain. Adakalanya percanggahan ini menyebabkan sebahagian umat menjadi ragu akan kebenaran hadis-hadis tersebut manakala sebahagian lain pula tersilap dalam mengamalkannya iaitu mereka mempraktikkan sebahagian dan menolak sebahagian yang lain. Malah ada yang menjadikan senario percanggahan ini sebagai salah satu faktor untuk menolak hadith secara keseluruhan dari syari‘at Islam.
Tidak dinafikan juga bahawa memang wujud hadis-hadis Rasulullah s.a.w yang pada zahirnya kelihatan bercanggah antara satu sama lain. Percanggahan ini bukanlah sesuatu yang bersifat hakiki tetapi ia hanyalah pandangan seseorang semata-mata kerana kelemahan dalam memahami maksud sesuatu hadis dan tidak mengetahui kaedah-kaedah bagi mengatasi percanggahan tersebut.
Antara masalah yang dihadapi oleh seseorang untuk memahami sunnah Rasulullah s.a.w adalah wujudnya beberapa hadith yang memiliki maksud, petunjuk dan hukum yang saling bercanggah, berlawanan dan bertentangan antara satu sama lain. Adakalanya percanggahan ini menyebabkan sebahagian umat menjadi ragu akan kebenaran hadis-hadis tersebut manakala sebahagian lain pula tersilap dalam mengamalkannya iaitu mereka mempraktikkan sebahagian dan menolak sebahagian yang lain. Malah ada yang menjadikan senario percanggahan ini sebagai salah satu faktor untuk menolak hadith secara keseluruhan dari syari‘at Islam.
Tidak dinafikan juga bahawa memang wujud hadis-hadis Rasulullah s.a.w yang pada zahirnya kelihatan bercanggah antara satu sama lain. Percanggahan ini bukanlah sesuatu yang bersifat hakiki tetapi ia hanyalah pandangan seseorang semata-mata kerana kelemahan dalam memahami maksud sesuatu hadis dan tidak mengetahui kaedah-kaedah bagi mengatasi percanggahan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TA’ARUDH AL-ADILLAH
1. Pengertian Ta’arudا al-Adhillah
Kata
ta’arudh, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-Adhillah
adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Bila ada suatu
dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi disamping itu
ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, maka
kedua dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam istilah hukum
islam disebut ta’arudh.
Jadi, yang dimaksud dengan berbenturan dalil-dalil hukum adalah saling
berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu di antara dua dalil itu
menjadikan hukum yang ditunjukan oleh dalil lainnya.
Ta’arud
al-Adillah dibahas oleh
para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil atau antara satu dalil
dengan dalil lainnya secara dzahir dengan derajat yang sama. Maksud dari satu
derajat yang sama adalah antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan
surat.
Selain itu yang
dalam Ta’arudh al-Adillah yang harus diperhatikan juga adalah
pertentangan itu menyangkut permasalahan yang sama dan di waktu yang sama,
sebagaimana pengertian Ta’arudh al-Adillah berikut: “Masing-masing dalil
menghendaki hukum yang sama terhadap satu kejadian, yang menyalahi hukum yang
dikehendaki oleh dalil yang lain.”
Seperti dalam riba’, Rasulullah SAW bersabda:
لَا رِبً الَّا فِي النَّسِيْئَةِ
Artinya: “tidak ada riba kecuali riba
nasi’ah (riba yang muncul dari utang-piutang).” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis diatas menyatakan bahwa tidak ada bentuk
riba’ selain riba’ nasi’ah, padahal ada hadis lainnya tentang riba’
fadl, seperti diterangkan dalam hadis:
لَا تَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ الَّا مِثْلًا بمِثْلٍ
Artinya: “jangan kamu jual gandum dengan gandum
kecuali dalam jumlah yang sama.” (HR. Bukhari Muslim dan Ibn Hambal)
Antara hadis yang pertama dengan hadis yang
kedua terjadi pertentangan dalam hukumnya. Hadis pertama membolehkan riba
fadl, dan hadis kedua mengharamkannya. Wahbah al-Juhili berpendapat bahwa 1
dalil bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid dalam memahami dan
menganalisisnya, serta sejauh mana kekuatan logikannya. Ia beralasan bahwa
tidaklah mungkin Allah SWT atau Rasulullah SAW menurunkan dalil yang saling bertentangan
antara satu dalil dengan dalil lainnya.
Contoh lain misalnya firman Allah
SWT :
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً
Artinya
: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah)
empat bulan sepuluh hari . . . (Q.S. 2, al-baqarah : 234)
Nash ini juga menghendaki keumumannnya, yaitu
setiap isteri yang ditinggal mati suaminya, iddah-nya akan selesai
dengan masa empat bulan sepuluh hari. Baik istri sedang hamil atau tidak.
Dan firmannya-Nya :
وَأُوْلَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya :
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya . . . (Q.S. 65, ath –thalaq : 4)
Nash ini juga menghendaki keumumannnya yaitu
bahwa setiap istri yang sedang hamil, iddah-nya akan selesai lantaran
melahirkan kandungannya. Baik dia itu karena ditinggalkan suaminya atau karena
di talak.
Maka istri yang ditinggal mati suaminya dalam
keadaan hamil adalah suatu peristiwa yang dikehendaki nash pertama agar
iddahnya selesai dengan menanti empat bulan sepuluh hari. Sedangkan nash kedua
menghendaki agar iddahnya selesai lantaran melahirkan kandungannya. Jadi dua
nash itu kontradiksi dalam peristiwa ini..
Begitu pula Imam asy-Syatibi berpendapat bahwa
pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa
terjadi baik pada dalil yang qathi’ (dianggap pasti kebenarannya) maupun
pada dalil zhanni (kebenaran dianggap relatif), selama berada dalam satu
tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang
kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya, misalnya
antara al-Quran dengan hadis, maka yang diambil adalah al-Quran.
2. Cara Menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah
Cara penyelesaian ta’arudh al-adillah yang dikenal
masyur dikalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut dikemukakan
oleh Hanafiyah dan jumhur ulama.
1.
Menurut Ulama Hanafiyah
Para
ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan
dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut:
a.
Nasakh, yaitu membatalkan
dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang
mengandung hukum yang berbeda.
b.
Tarjih, yaitu menguatkan salah
satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang
mendukung ketetapan tersebut.
c.
Al-Jam’u wal al-Taufiq. Mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan
setelah mengumpulkan keduanya.
d.
Tasaquth al-Dalilain. Menggugurkan kedua dalil yang bertentangan
dan mencari yang lebih rendah, misalnya tidak dapat mengambil keterangan dari
al-Quran, maka akan diambil dari sunnah, jika masih betentangan maka diambil
metode qiyas.
2.
Menurut Jumhur Ulama
Metode yang
digunakan oleh jumhur ulama, terdiri dari kalangan ulama-ulama Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Zhahitiyah. Untuk menyelesaikan ta’arudh al-adillah,
mereka menetapkan kaidah bertahap (gradasi) dari point-point berikut:
a.
Al-Jam’u wat Tawfiq (penggabungan dan penyesuaian). Maksudnya
menggabung dan mengkompromikan kedua dalil yang bertentangan tadi atau dengan
kata lain, mencari titik temu dari dalil-dalil tersebut. Karena, sepanjang
dalil itu dapat dijadikan hujjah, pada prinsipnya keberadaan dalil
adalah untuk diamalkan, bukan untuk diabaikan.
b.
Tarjih (mencari yang lebih kuat). Yakni mencari dalil
yang lebih kuat, misalnya pada hadis dilihat mana yang lebih kuat sanad dan
matan (kualitas) hadis tersebut maka itulah dalil yang dipakai untuk diamalkan.
Keterangan: penjelasan lebih lanjut lihat bagian tarjih.
a.
Nasakh (menghapus). Artinya menghapus ketentuan hukum
yang ditunjukkan oleh dahulu terdahulu dengan hukum yang ditunjukkan oleh dalil
yang belakangan. Misalnya: dalam satu
kasus dalil A muncul pada awal Islam, sementara dalil B muncul pada masa
menjelang Rasul SAW wafat. Maka dalil B yang belakangan inilah yang dijadikan hujjah.
b.
Tasaqut al-Dalalain (menggugurkan kedua dalil). Apabila ketiga
cara sebelumnya tidak ditemukan solusi, maka ulama tidak mengambil salah satu
dalil dari keduanya, melainkan mendiamkan (tawaqquf) sampai ditemukan
penyelesaian dalil tersebut.
B. TARJIH
Ada
dua definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:
1.
Menurut Ulama Hanafiyah :
افْهَاْرِزيَادَةٍ
لأحَدِ الْمُتَمَا ثِلَيْنِ عَلىَ الأخِربِمَا لاَيَسْتَقِدُ
Artinya:
“Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama
(sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
Menurut
golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya,
seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukungnya
harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.
2.
Menurut Jumhur Ulama:
تَقِو يَةُ إِحْدَى اْلإِمارتين على ا لأَخْرى لِيَعْمَا ِبهَا
Artinya:
“Meniatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk
diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”
Dengan
pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni.
Menurut mereka, tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i.
Tarjih
ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih dalil yang
mana yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya berlawanan.
a. Syarat –syarat Tarjih :
1.
Yang menjadi soal itu satu masalah tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji,
maka semua riwayatnya urusan haji.
2.
Dalil-dalil yang berlawanan harus sama kekuatanya, seperti al-Quran dengan
al-Quran, dan hadis mutawatir dengan hadis-hadis mutawatir pula.
3.
Harus ada persesuaian hukum antara keduanya baik waktunya, tempatnya, dan
keadaannya. Misalnya larangan jual beli sesudah ada azan Jumat, di waktu yang
lain jual beli dibolehkan.
b. Cara Pentarjihan
Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu
dapat ditinjau dari segi sanad, matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal
diluar tiga tersebut, yaitu:
a) Tarjih ditinjau dari segi sanad:
·
Hendaklah dipilih sanadnya yang banyak rawinya dari pada yang sedikit.
·
Hendaklah dipilih rawi-rawinya yang ahli fiqih dari pada yang bukan karena
mereka lebih mengetahui maksud yang diriwayatkan.
·
Hendaklah dipilih yang rawi-rawinya lebih banyak hapalannya dari pada yang
lainnya
·
Hendaklah dipilih rawinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang
diceritakannya karena biasanya ia lebih mengetahuinya.
·
Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan, dan
·
Hendaklah dipilih rawi-rawi yang banyak bergaul dengan Nabi Saw.
b)
Tarjih ditinjau
dari segi matan hadits:
·
Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang
mengandung perintah, karena menolak segala kemudharatan lebih didahulukan
daripada mengambil manfaat.
·
Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukan
kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukum bolehnya telah
terbawa sekaligus.
·
Makna hakikat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya,
karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi lain untuk
menguatkannya.
·
Dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
·
Teks umum yang belum dikhususkan (di-takhsis) lebih didahulukan daripada
teks umum yang telah dikhususkan (takhsis).
·
Teks yang sifatnya perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
·
Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang yang mufassar, karena
teks yang muhkam lebih pasti dibanding teks mufassar.
·
Teks yang syarih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat
sindiran (kinayah).
c) Tarjih ditinjau dari segi isi hadits /madlul:
·
Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
·
Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya (al-mutsbit
‘alan nafi).
·
Mendahulukan yang mengandung pembatalan hukuman had (yang tertentu) dari pada
yang menetapkannya.
·
Mendahulukan yang hukumannya ringan dari pada yang berat, dan
·
Mendahulukan yang menetapkan hukum ashalatau Bara’ah ashliyah.
d) Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar
hadits:
·
Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil-dalil lain.
·
Didahulukan hadis qauliyah dari pada fi’liyah, dan
·
Didahulukan hadits (riwayat) yang lebih menyerupai dhahir al-Qur’an.
BAB III
PENUTUPAN
1. KESIMPULAN
Kata
ta’arudh, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-Adhillah
adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Ta’arud
al-Adillah dibahas oleh para ulama ketika ada
pertentangan antara dua dalil atau antara satu dalil dengan dalil lainnya
secara dzahir dengan derajat yang sama.
Selain itu yang dalam Ta’arudh al-Adillah yang
harus diperhatikan juga adalah pertentangan itu menyangkut permasalahan yang
sama dan di waktu yang sama,
Ta’arudh al-Adillah terkandung:
a.
Adanya dua dalil atau lebih.
b.
Menyangkut permasalahan yang sama.
c.
Mengandung ketentuan yang berbeda
(bertentangan).
d.
Dalil-dalilnya mempunyai derajat yang sama.
e.
Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu.
Cara menyelesaikan ta’arud adillah menurut ulama
hanafiyah :
a.
Nasakh,
b.
Tarjih,
c.
Al-Jam’u wal
al-Taufiq
d.
Tasaquth
al-Dalilain.
Adapun menurut jumhur ulama :
a.
Al-Jam’u wat
Tawfiq (penggabungan dan penyesuaian).
b.
Tarjih (mencari yang
lebih kuat
c.
Nasakh (menghapus).
Ada
dua definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:
a.
Menurut
Ulama Hanafiyah :
“Memunculkan
adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat),
dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
b.
Menurut Jumhur Ulama:
“Meniatkan
salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan
berdasarkan dalil tersebut.”
Adapun syarat untuk melakukan tarjih harus dilihat dari bebrapa segi :
a. Tarjih ditinjau dari segi sanad
b. Tarjih ditinjau dari segi matan hadits
c. Tarjih ditinjau dari segi isi hadits /madlul
d. Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar
hadits
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta:
Kencana.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta:: PT RajaGrafindo Persada.
Rifa’i, Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT
Alma’arif.
Rohayana, Ade Dedi. 2008. Ilmu Qawa’id
Fiqhiyyah: Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Utama.
Suhartini, Andewi. 2009. Ushul Fiqih.
Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI.
Syafe’i, Rachmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqih.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Syukur, M Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu
Fikih dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Uman, Chaerul dan Aminudin, Achyar. 2000. Ushul
Fiqh 1: Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK. Bandung: CV Pustaka Setia.
Uman, Khairul dan Aminudin, Achyar. 1991. Ushul
Fiqih II. Bandung: CV Pustaka Setia.
Usman, Muhlish.1997. Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers.
Zuhaily, Syeikh Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islamy.
Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr.
Langganan:
Postingan (Atom)