Senin, 18 Mei 2015

at-ta'arud dan at-tarjih



TUGAS MAKALAH :
                                                                 
“AT –TA’ARUD DAN AL- TARJIH “

Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/5/58/Logo_STAIN_Sultan_Qaimuddin.jpg/220px-Logo_STAIN_Sultan_Qaimuddin.jpg

        Disusun Oleh :
JUAN JUNARDI
13020103075
RIA SETIAWATI ASRI
13020103073
Jurusan Syariah / Ekonomi Islam / III / C
Institut Agama Islam Negeri
 (IAIN)
Sultan Qaimuddin Kendari
2014

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak pembimbing yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

 Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “AT- TA’ARUD DAN AL-TARJIH” , Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.


      Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.

                                                                                      Kendari,   September  2014



                                                                                
Penyusun       


DAFTAR ISI :



BAB I

PENDAHULUAN


Jika diteliti secara umumnya, bidang atau skop perbahasan dalam ilmu usul al-fiqh ialah mengenai kaedah-kaedah yang digunakan oleh ulama untuk mengeluarkan sesuatu hukum daripada sesuatu sumber hukum, sama ada sumber hukum yang disepakati atau dari sumber hukum yang tidak disepakati. Ia juga membahaskan perkara-perkara yang berkaitan dengan ijtihad, syarat-syarat dan kriteria serta ciri-ciri mujtahid. Begitu juga dengan al-Ta’arud dan al-Tarjih serta al-Dilalat atau al-Dalalat iaitu perbahasan khusus tentang cara-cara menentukan madlul dan hukum dari Al-Quran serta Hadith dan kategorinya.

           Antara masalah yang dihadapi oleh seseorang untuk memahami sunnah Rasulullah s.a.w adalah wujudnya beberapa hadith yang memiliki maksud, petunjuk dan hukum yang saling bercanggah, berlawanan dan bertentangan antara satu sama lain. Adakalanya percanggahan ini menyebabkan sebahagian umat menjadi ragu akan kebenaran hadis-hadis tersebut manakala sebahagian lain pula tersilap dalam mengamalkannya iaitu mereka mempraktikkan sebahagian dan menolak sebahagian yang lain. Malah ada yang menjadikan senario percanggahan ini sebagai salah satu faktor untuk menolak hadith secara keseluruhan dari syari‘at Islam.

            Tidak dinafikan juga bahawa memang wujud hadis-hadis Rasulullah s.a.w yang pada zahirnya kelihatan bercanggah antara satu sama lain. Percanggahan ini bukanlah sesuatu yang bersifat hakiki tetapi ia hanyalah pandangan seseorang semata-mata kerana kelemahan dalam memahami maksud sesuatu hadis dan tidak mengetahui kaedah-kaedah bagi mengatasi percanggahan tersebut.






BAB II

PEMBAHASAN

A.     TA’ARUDH AL-ADILLAH

1.      Pengertian Ta’arudا al-Adhillah

Kata ta’arudh, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-Adhillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.

Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, maka kedua dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam istilah hukum islam disebut ta’arudh. Jadi, yang dimaksud dengan berbenturan dalil-dalil hukum adalah saling berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu di antara dua dalil itu menjadikan hukum yang ditunjukan oleh dalil lainnya.

Ta’arud al-Adillah dibahas oleh para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara dzahir dengan derajat yang sama. Maksud dari satu derajat yang sama adalah antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat.

Selain itu yang dalam Ta’arudh al-Adillah yang harus diperhatikan juga adalah pertentangan itu menyangkut permasalahan yang sama dan di waktu yang sama, sebagaimana pengertian Ta’arudh al-Adillah berikut: “Masing-masing dalil menghendaki hukum yang sama terhadap satu kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.”
 Seperti dalam riba’, Rasulullah SAW bersabda:
لَا رِبً الَّا فِي النَّسِيْئَةِ
Artinya: “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang-piutang).” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis diatas menyatakan bahwa tidak ada bentuk riba’ selain riba’ nasi’ah, padahal ada hadis lainnya tentang riba’ fadl, seperti diterangkan dalam hadis:

لَا تَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ الَّا مِثْلًا بمِثْلٍ
Artinya: “jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.” (HR. Bukhari Muslim dan Ibn Hambal)
Antara hadis yang pertama dengan hadis yang kedua terjadi pertentangan dalam hukumnya. Hadis pertama membolehkan riba fadl, dan hadis kedua mengharamkannya. Wahbah al-Juhili berpendapat bahwa 1 dalil bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid dalam memahami dan menganalisisnya, serta sejauh mana kekuatan logikannya. Ia beralasan bahwa tidaklah mungkin Allah SWT atau Rasulullah SAW menurunkan dalil yang saling bertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya.
Contoh lain misalnya firman Allah SWT :

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً

Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari . . . (Q.S. 2, al-baqarah : 234)

Nash ini juga menghendaki keumumannnya, yaitu setiap isteri yang ditinggal mati suaminya, iddah-nya akan selesai dengan masa empat bulan sepuluh hari. Baik istri sedang hamil atau tidak.
Dan firmannya-Nya :
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Artinya :  Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya . . . (Q.S. 65, ath –thalaq : 4)

Nash ini juga menghendaki keumumannnya yaitu bahwa setiap istri yang sedang hamil, iddah-nya akan selesai lantaran melahirkan kandungannya. Baik dia itu karena ditinggalkan suaminya atau karena di talak.
Maka istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah suatu peristiwa yang dikehendaki nash pertama agar iddahnya selesai dengan menanti empat bulan sepuluh hari. Sedangkan nash kedua menghendaki agar iddahnya selesai lantaran melahirkan kandungannya. Jadi dua nash itu kontradiksi dalam peristiwa ini..
Begitu pula Imam asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qathi’ (dianggap pasti kebenarannya) maupun pada dalil zhanni (kebenaran dianggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya, misalnya antara al-Quran dengan hadis, maka yang diambil adalah al-Quran.

2.      Cara Menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah


Cara penyelesaian ta’arudh al-adillah yang dikenal masyur dikalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut dikemukakan oleh Hanafiyah dan jumhur ulama.

1.      Menurut Ulama Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut:
a.       Nasakh, yaitu membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda.
b.      Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut.
c.       Al-Jam’u wal al-Taufiq. Mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya.
d.      Tasaquth al-Dalilain. Menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah, misalnya tidak dapat mengambil keterangan dari al-Quran, maka akan diambil dari sunnah, jika masih betentangan maka diambil metode qiyas.

2.      Menurut Jumhur Ulama

Metode yang digunakan oleh jumhur ulama, terdiri dari kalangan ulama-ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahitiyah. Untuk menyelesaikan ta’arudh al-adillah, mereka menetapkan kaidah bertahap (gradasi) dari point-point berikut:
a.       Al-Jam’u wat Tawfiq (penggabungan dan penyesuaian). Maksudnya menggabung dan mengkompromikan kedua dalil yang bertentangan tadi atau dengan kata lain, mencari titik temu dari dalil-dalil tersebut. Karena, sepanjang dalil itu dapat dijadikan hujjah, pada prinsipnya keberadaan dalil adalah untuk diamalkan, bukan untuk diabaikan.
b.      Tarjih (mencari yang lebih kuat). Yakni mencari dalil yang lebih kuat, misalnya pada hadis dilihat mana yang lebih kuat sanad dan matan (kualitas) hadis tersebut maka itulah dalil yang dipakai untuk diamalkan.
Keterangan: penjelasan lebih lanjut lihat bagian tarjih.
a.       Nasakh (menghapus). Artinya menghapus ketentuan hukum yang ditunjukkan oleh dahulu terdahulu dengan hukum yang ditunjukkan oleh dalil yang belakangan. Misalnya: dalam satu kasus dalil A muncul pada awal Islam, sementara dalil B muncul pada masa menjelang Rasul SAW wafat. Maka dalil B yang belakangan inilah yang dijadikan hujjah.
b.      Tasaqut al-Dalalain (menggugurkan kedua dalil). Apabila ketiga cara sebelumnya tidak ditemukan solusi, maka ulama tidak mengambil salah satu dalil dari keduanya, melainkan mendiamkan (tawaqquf) sampai ditemukan penyelesaian dalil tersebut.

B.     TARJIH

Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:

1.      Menurut Ulama Hanafiyah :
افْهَاْرِزيَادَةٍ لأحَدِ الْمُتَمَا ثِلَيْنِ عَلىَ الأخِربِمَا لاَيَسْتَقِدُ

Artinya: “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.
2.      Menurut Jumhur Ulama:
تَقِو يَةُ إِحْدَى اْلإِمارتين على ا لأَخْرى لِيَعْمَا ِبهَا
Artinya: “Meniatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”
Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka, tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i.
Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya berlawanan.

a.      Syarat –syarat Tarjih :

1.      Yang menjadi soal itu satu masalah tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji, maka semua riwayatnya urusan haji.
2.      Dalil-dalil yang berlawanan harus sama kekuatanya, seperti al-Quran dengan al-Quran, dan hadis  mutawatir dengan hadis-hadis mutawatir pula.
3.      Harus ada persesuaian hukum antara keduanya baik waktunya, tempatnya, dan keadaannya. Misalnya larangan jual beli sesudah ada azan Jumat, di waktu yang lain jual beli dibolehkan.

b.      Cara Pentarjihan

Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat ditinjau dari segi sanad, matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar tiga tersebut, yaitu:
a)      Tarjih ditinjau dari segi sanad:
·         Hendaklah dipilih sanadnya yang banyak rawinya dari pada yang sedikit.
·         Hendaklah dipilih rawi-rawinya yang ahli fiqih dari pada yang bukan karena mereka lebih mengetahui maksud yang diriwayatkan.
·         Hendaklah dipilih yang rawi-rawinya lebih banyak hapalannya dari pada yang lainnya
·         Hendaklah dipilih rawinya yang ikut serta dalam suatu kejadian yang diceritakannya karena biasanya ia lebih mengetahuinya.
·        Hendaklah dipilih hadis atau riwayat yang diceritakan, dan
·         Hendaklah dipilih rawi-rawi yang banyak bergaul dengan Nabi Saw.
b)      Tarjih ditinjau dari segi matan hadits:
·         Teks yang  mengandung larangan lebih didahulukan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak segala kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
·         Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang menunjukan kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukum  bolehnya telah terbawa sekaligus.
·         Makna hakikat dari suatu lafal lebih didahulukan daripada makna majaznya, karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi lain untuk menguatkannya.
·         Dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil umum.
·         Teks umum yang belum dikhususkan (di-takhsis) lebih didahulukan daripada teks umum yang telah dikhususkan (takhsis).
·         Teks yang sifatnya perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
·         Teks yang muhkam lebih didahulukan daripada teks yang yang mufassar, karena teks yang muhkam lebih pasti dibanding teks mufassar.
·         Teks yang syarih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran (kinayah).
c)      Tarjih ditinjau dari segi isi hadits /madlul:
·           Mendahulukan isi yang mendekati ihtiath (berhati-hati).
·           Mendahulukan yang menetapkan hukum dari pada yang meniadakannya (al-mutsbit ‘alan nafi).
·           Mendahulukan yang mengandung pembatalan hukuman had (yang tertentu) dari pada yang menetapkannya.
·           Mendahulukan yang hukumannya ringan dari pada yang berat, dan
·           Mendahulukan yang menetapkan hukum ashalatau Bara’ah ashliyah.
d)     Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar hadits:
·      Didahulukan hadis yang dibantu oleh dalil-dalil lain.
·      Didahulukan hadis qauliyah dari pada fi’liyah, dan
·      Didahulukan hadits (riwayat) yang lebih menyerupai dhahir al-Qur’an.

BAB III

PENUTUPAN

1.     KESIMPULAN


Kata ta’arudh, secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-Adhillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Ta’arud al-Adillah dibahas oleh para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara dzahir dengan derajat yang sama.
Selain itu yang dalam Ta’arudh al-Adillah yang harus diperhatikan juga adalah pertentangan itu menyangkut permasalahan yang sama dan di waktu yang sama,
Ta’arudh al-Adillah terkandung:

a.       Adanya dua dalil atau lebih.
b.      Menyangkut permasalahan yang sama.
c.       Mengandung ketentuan yang berbeda (bertentangan).
d.      Dalil-dalilnya mempunyai derajat yang sama.
e.       Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu.

Cara menyelesaikan ta’arud adillah menurut ulama hanafiyah :
a.      Nasakh,
b.      Tarjih,
c.       Al-Jam’u wal al-Taufiq
d.      Tasaquth al-Dalilain.
Adapun menurut jumhur ulama :
a.      Al-Jam’u wat Tawfiq (penggabungan dan penyesuaian).
b.      Tarjih (mencari yang lebih kuat
c.       Nasakh (menghapus).
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih:

a.        Menurut Ulama Hanafiyah :
 “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”

b.      Menurut Jumhur Ulama:
“Meniatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”
Adapun syarat untuk melakukan tarjih harus dilihat dari bebrapa segi :

a.       Tarjih ditinjau dari segi sanad
b.      Tarjih ditinjau dari segi matan hadits
c.       Tarjih ditinjau dari segi isi hadits /madlul
d.      Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar hadits

DAFTAR PUSTAKA


                      Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta:  Kencana.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). Jakarta:: PT RajaGrafindo Persada.

Rifa’i, Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.

Rohayana, Ade Dedi. 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Utama.

Suhartini, Andewi. 2009. Ushul Fiqih. Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam DEPAG RI.

Syafe’i, Rachmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

Syukur, M Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Uman, Chaerul dan Aminudin, Achyar. 2000. Ushul Fiqh 1: Untuk Fakultas Syariah Komponen MKDK. Bandung: CV Pustaka Setia.

Uman, Khairul dan Aminudin, Achyar. 1991. Ushul Fiqih II. Bandung: CV Pustaka Setia.

Usman, Muhlish.1997. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers.

Zuhaily, Syeikh Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islamy. Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar